Ketika Pahitnya Kopi Pagi Nggak Lagi Soal Takaran

Kopi Pagi Hari Ini Lebih Pahit Dari Biasanya

Pernah gak sih lo ngerasa... sesuatu yang biasa aja tiba-tiba terasa beda?

Hari ini, kopi pagi gue terasa lebih pahit dari biasanya. Padahal, itu cuma kopi instan biasa yang setiap hari gue minum. Tapi entah kenapa, rasa pahitnya nyangkut lebih lama di lidah. Mungkin karena takarannya gue tambah. Atau... mungkin karena pagi ini, kepala gue lebih penuh dari biasanya.

Gue bangun lebih pagi dari rutinitas. Jam setengah empat pagi mata gue udah kebuka. Nggak ada alarm, nggak ada notifikasi yang nyala. Cuma suara hujan yang awalnya terdengar syahdu—menenangkan. Tapi lama-lama berubah jadi semacam musik latar yang nyeret pikiran gue ke tempat-tempat yang nggak pengen gue kunjungi pagi-pagi gini.

Gue bangkit dari kasur pelan-pelan, ngelewatin ruangan yang masih gelap, dan menuju dapur. Nyalain air, buka toples kopi, dan kali ini takarannya gue lebihin. Sengaja. Gue pikir, mungkin kalau rasanya lebih pahit, mata gue bisa lebih cepat melek. Tapi ternyata, bukan mata yang butuh dibangunin. Hati gue.

Hujan Subuh dan Keresahan yang Diam-diam

Gue selalu punya hubungan yang rumit sama hujan di subuh hari. Di satu sisi, dia bawa ketenangan. Angin dingin, udara bersih, suara rintik yang nempel di kaca jendela. Tapi di sisi lain, dia juga bawa rasa was-was. Terutama di bulan-bulan kayak sekarang—Januari, akhir-akhir musim hujan, dan awal-awal memori banjir mulai nongol di kepala.

Gue masih inget betul dua tahun lalu, saat rumah nyaris tenggelam. Gue dan keluarga harus mindahin barang-barang di tengah malam sambil basah-basahan. Buku-buku gue, kenangan kecil, semua basah. Dan setiap hujan deras turun di bulan Januari, perasaan itu muncul lagi, diam-diam, tapi jelas. Kayak luka lama yang tiba-tiba ngilu kalau kena dingin.

Tahun kemarin, banjirnya mendingan. Tapi ketakutan itu belum hilang. Dan pagi ini, suara hujan di luar jendela kayak ngingetin gue bahwa trauma kecil nggak pernah benar-benar pergi. Dia cuma nunggu waktu buat muncul lagi.

Kopi dan Kenangan yang Melekat

Sambil gue aduk kopi di cangkir keramik yang warnanya udah mulai pudar, gue mikir: “Sejak kapan pagi jadi seberat ini?”

Dulu, pagi adalah momen yang gue tunggu. Waktu paling sepi buat nyendiri, baca, atau nulis. Tapi makin ke sini, pagi berubah jadi waktu buat menampung semua kecemasan yang nggak sempet gue pikirin malam sebelumnya.

Kayak semua pertanyaan yang gue tahan siang dan malam, akhirnya meledak pas matahari belum nongol.

Gue seruput kopi itu pelan-pelan. Rasanya... pahit banget. Tapi anehnya, itu yang bikin gue tenang. Kayak rasa pahit itu justru bikin gue sadar: “Lo masih hidup. Lo masih bisa ngerasain sesuatu.” Dan kadang, cuma itu yang kita butuhin.

Hidup Itu Kayak Kopi Tanpa Gula

Ada kalanya hidup nggak manis. Dan bukan karena lo nggak usaha. Tapi karena emang lagi fase pahit.

Lo udah coba semua hal—kerja keras, jaga sikap, berdoa. Tapi tetap aja, hidup kasih lo rasa getir. Rasa yang bikin lo nanya, “Salah gue di mana?”

Tapi percayalah, itu bukan salah lo.

Pahitnya hidup bukan selalu tanda bahwa lo gagal. Kadang, itu cuma proses biar lo bisa ngerti manisnya nanti. Sama kayak lo nggak bakal tahu enaknya kopi susu, kalau lo nggak pernah ngerasain kopi hitam dulu.

Dan yang lebih penting, lo tetap jalan. Meski rasanya berat. Meski lo nggak ngerti arah. Tapi lo tetap bangun pagi, lo tetap kerja, lo tetap berusaha jadi versi terbaik dari diri lo — walau nggak ada yang lihat, walau nggak ada yang tepuk tangan.

Pagi Itu Bukan Tentang Produktivitas — Tapi Keberanian

Pagi hari bukan soal siapa paling cepet kerja, siapa paling disiplin bangun subuh. Kadang, pagi itu cuma tentang keberanian buat tetap buka mata dan bilang ke diri sendiri,

"Ayo, hari ini kita coba lagi."

Dan kalau pagi ini kopi lo terasa lebih pahit dari biasanya, mungkin itu karena lo lagi bawa beban lebih berat dari biasanya juga. Tapi itu nggak apa-apa.

Minum aja pelan-pelan. Rasain semua rasanya. Karena itu artinya... lo masih di sini. Lo masih bertahan.

Penutup: Semoga Kopi Pahit Hari Ini, Jadi Awal dari Hari yang Manis

Kalau lo lagi ada di titik di mana semuanya terasa berat dan dunia nggak kayak biasanya—gue ngerti. Kadang hidup memang kayak gitu. Tapi percaya deh, lo nggak sendiri.

Hari-hari pahit ini bukan akhir. Ini cuma bagian dari perjalanan.

Jadi, seruput kopi lo. Biarkan rasa pahitnya menyapa, tapi jangan biarkan dia ngerusak hari lo. Karena lo kuat. Karena lo udah jauh sejauh ini, dan itu nggak datang dari kebetulan. Semoga besok, kopi lo terasa lebih ringan. Dan kalau belum, nggak apa-apa. Kita coba lagi bareng-bareng. 

Posting Komentar untuk "Ketika Pahitnya Kopi Pagi Nggak Lagi Soal Takaran"